Larangan Bullying Verbal Dalam Penafsiran QS. Ali Imron (3): 66


Bullying merupakan perilaku yang tidak bertanggungjawab untuk mengganggu dan melemahkan orang lain yang dianggap lemah secara fisik, verbal, dan psikis dan dilakukan secara sengaja hinga memberikan dampak bagi korban. Adakalanya bullying dilakukan di dalam lingkup pendidikan, pekerjaan, pertemanan, media sosial, bahkan keluarga. Salah satu bentuk bullying yang sering terjadi pada era digital ini adalah bullying dalam bentuk verbal.


Dampak yang disebabkan oleh bullying verbal tentu saja dapat mengganggu dimensi psikologis dari seseorang, yang pada akhirnya juga bisa berdampak pada dimensi fisik. Salah satunya kita bisa merujuk ke data UNICEF tahun 2020 menunjukkan bahwa hampir 40% kasus bunuh diri di Indonesia disebabkan oleh bullying.


Lalu, di dalam kitab suci Al-Qur’an apakah ada ayat yang bisa menjadi landasan untuk menyikapi fenomena ini?


Ayat Al-Qur’an yang bisa dijadikan landasan untuk menyikapi fenomena ini terdapat dalam QS. Ali Imron (3): 66



هٰاَنْتُمْ هٰؤُلَاۤءِ حَاجَجْتُمْ فِيْمَا لَكُمْ بِه عِلْمٌ فَلِمَ تُحَاۤجُّوْنَ فِيْمَا لَيْسَ لَكُمْ بِه عِلْمٌۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ واَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ


“Begitulah kamu. Kamu berbantah-bantahan tentang apa yang kamu ketahui, tetapi mengapa kamu berbantah-bantahan (juga) tentang apa yang tidak kamu ketahui? Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.”


 


Penafsiran Ayat


Untuk memahami ayat ini perlu merujuk kembali pada ayat sebelumnya (Q.S Ali Imran: 65):


يٰاَهْلَ الْكِتٰبِ لِمَ تُحَاۤجُّوْنَ فِيْ اِبْرٰهِيْمَ وَمَا اُنْزِلَتِ التَّوْرٰىةُ وَالْاِنْجِيْلُ اِلَّا مِنْ بَعْدِهۗ اَفَلَا تَعْقِلُوْنَ


 “Wahai Ahlulkitab, mengapa kamu berbantah-bantahan tentang Ibrahim? Padahal, Taurat dan Injil tidak diturunkan, kecuali setelah dia (Ibrahim). Apakah kamu tidak mengerti?”


Dalam Tafsir Al Mishbah karya Quraish Shihab, asbab al-nuzul dari kedua ayat ini adalah ketika Nabi Muhammad Saw. diperintah untuk mengundang Yahudi dan Nasrani untuk menyaksikan bahwa dia dan umatnya merupakan orang-orang Islam yang menyerahkan diri kepada Allah swt, dan menyampaikan bahwa ajaran Islam yang di bawanya merupakan apa yang telah diajarkan oleh Nabi Ibrahim as. Namun, menurut riwayat Muhammad ibn Ishaq ibn Yasar, di antara pihak Yahudi dan Nasrani Najran justru terjadi perdebatan tentang Nabi Ibrahim as di hadapan Nabi Muhammad. Konteks ini juga terdapat dalam Tafsir Ibn Katsir.


Perdebatan tersebut berupa saling klaim posisi Nabi Ibrahim. Pihak Yahudi klaim bahwa Nabi Ibrahim adalah pengikut Yahudi. Begitu juga pihak Nasrani klaim bahwa Nabi Ibrahim adalah pengikut Nasrani. Sedangkan hal yang janggal dari perdebatan antara pihak Yahudi dan Nasrani adalah sebenarnya Taurat dan Injil ada setelah wafatnya Nabi Ibrahim as. dalam tempo waktu yang cukup jauh. Adapun Abdul Qadir al-Jailani menyebutkan dalam tafsirnya bahwa Nabi Musa hidup setelah dua ribu tahun wafatnya Nabi Ibrahim dan Nabi Isa hidup setelah seribu tahun wafatnya Nabi Ibrahim dengan redaksi:


لأن موسى إنما جاء بعده بألف سنة....لأن عيسى إنما جاء بعده بألفي سنة.


Oleh karena itu, bisa diambil kesimpulan bahwa Nabi Ibrahim bukanlah Nasrani maupun Yahudi, melainkan dia pengikut ajaran Islam.


Ayat tersebut memiliki kandungan bahwa setiap orang seharusnya meninggalkan perdebatan tentang sesuatu yang sebenarnya tidak dia ketahui. Karena perdebatan tersebut bukannya menyelesaikan masalah, justru akan memperpanjang masalah. Oleh karena itu, jika memang tidak tahu, lebih baik tidak berdebat.


Kandungan selanjutnya adalah, setiap orang seharusnya tidak mencontoh Nasrani Najran dan Yahudi yang di-nash dalam ayat tersebut. Di mana mereka memperdebatkan sesuatu untuk keuntungan diri sendiri dan menjatuhkan lawan debat. Hal ini sering terjadi di kehidupan di mana banyak dari orang yang suka memperdebatkan sesuatu hanya untuk melegitimasi dirinya sendiri sekaligus berniat untuk menjatuhkan dan mempermalukan lawannya, yang dalam hal ini berkorelasi dengan konteks bullying.


Hal tersebut memiliki relevansi dengan Hadis Jayyid riwayat Baihaqi dalam kitabnya, al-Ja>mi’ li Syu’ab al-I>man:


يَا بُنَيَّ، إِيَّاكَ وَالْمِرَاءَ، فَإِنَّ نَفْعَهُ قَلِيلٌ، وَهُوَ يُهِيجُ الْعَدَاوَةَ بَيْنَ الْإِخْوَانِ


“Wahai Anakku, tinggalkanlah mira’ (mendebat karena ragu dan menentang, debat untuk menjatuhkan) itu, karena manfaatnya sedikit. Dan ia membangkitkan permusuhan di antara orang-orang yang bersaudara.” (HR. Baihaqi).


Bentuk bullying seperti itu sering terjadi salah satunya di platform media sosial. Di antara banyaknya informasi yang beredar di media sosial, beberapa dari penggunanya sering membicarakan dan memperdebatkan sesuatu yang sebenarnya tidak dia kuasai.


Hal itu sering terjadi dalam pembahasan politik, ideologi, dan agama, yang akhirnya objek pembahasan akan semakin rancu dan melebar kemana-mana. Selain itu, para pengguna media sosial tersebut tidak berupaya untuk diskusi menemukan pencerahan, justru mereka lebih suka saling menjatuhkan dan mempermalukan lawan debatnya.


Jika merujuk pada penafsiran di atas, bisa diketahui bahwa berbagai aksi perdebatan di media sosial yang terkadang bisa sampai pada bullying atau perundungan merupakan sikap yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Qur’ani. Maka dari itu, sebaiknya setiap dari kita harus menghindari perdebatan yang dalam konteks maqashid al-syari’ah lebih banyak mafsadat daripada maslahatnya.


Wallahua’lam...


Penulis: Izzulhaq